Tarempa, Anambas (KEPRI)-Terkait isu yang lagi hangat diberitakan baru-baru ini, bahwasanya Pihak Pemilik kapal KM. Oktavia yang berlayar dari Tanjungpinang ke Tarempa pada tanggal (13 Mei 2020) lalu merasa terganggu dengan tidak diketahui adanya 10 Karyawan PT. Ganesha Bangun Riau Sarana (GBRS) untuk mengerjakan Jalan SP ll di Kabupaten Kepulauan Anambas Provinsi Kepulauan Riau KEPRI.
Salah satu Akademisi Hukum, Tri Wahyu, SH kepada awak media ini melalui sambungan WhatsApp pada Sabtu (16/05/2020) malam. Menurutnya, KM. Oktavia itu hanya mempunyai izin untuk mengangkut barang namun disalahgunakan saat berlayar diduga membawa 10 penumpang gelap. Jika kita merujuk kepada pasal 38 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2008 bahwa, “Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan”.
Namun pihak yang memiliki kapal ini belum sempat melakukan negosiasi dengan pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas dan bahkan tidak mengetahui terkait persetujuan untuk membawa penumpang tersebut,” tutur Tri Wahyu, SH.
Dalam pasal 137 ayat 4 UU. No 17 tahun 2008 menyebutkan, Nakhoda wajib menolak dan memberitahukan kepada instansi yang berwenang apabila mengetahui muatan yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen muatan.
Dikarenakan tidak pernah disampaikan nakhoda (kapten) kepada pemilik kapal KM. Oktavia berdasarkan penjelasan yang disampaikan pemilik kapal ini ( dikutip dari media online) maka sanksi pidana terhadap hal ini terdapat pada pasal 302 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2008 yang mengatakan ” Nakhoda yang melayarkan kapalnya, sedangkan yang bersangkutan kapten mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah),” jelasnya.
Saya menyayangkan bagaimana kapal kargo itu bisa berangkat dari Tanjungpinang ke Tarempa jelas surat izin penggunaan kapal dengan apa yang diangkutnya sangatlah bertentangan. Karena pasal 217 dan 219 UU serupa mengatakan bahwa ” Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan keamanan kapal di pelabuhan dan setiap kapal berlayar wajib memiliki surat persetujuan berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar.
Tentu hal ini perlu penyidikan lebih intensif lagi yang dimana penyidikan terhadap hal ini telah diamanahkan oleh Undang-Undang yang sama pada pasal 283 ayat 1 dan 2,” tegasnya.
Berikutnya, pada pasal 333 ayat 1 mengatakan bahwa ” Tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Untuk aturan pidananya termaktub dalam pasal 336 poin (d) dan poin (e) yang menyebutkan bahwasanya “Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.”ujarnya.
Ia menabahkan, Tentunya kita sebagai masyarakat yang taat akan hukum tidak boleh mengajukan atau menghakimi seseorang bersalah atau tidak , karena kita harus menjunjung tinggi Asas Presumption of Innocence yang dimana seseorang tidak dapat kita katakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang in kracht.
Namun sebagai masyarakat juga apabila kita menemukan sesuatu bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku terjadi disekitar kita , kita berhak melaporkan kepada pihak berwajib atau berwenang dalam menyelesaikan suatu perkara,”paparnya
Terakhir dalam hal ini, delik terhadap perkara ini adalah sifatnya laporan bukan aduan , sehingga siapa saja bisa melaporkan akan hal ini kepada pihak yang berwajib tanpa harus menunggu aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Semoga ada klarifikasi dari pihak Pemerintah Kabupaten Kepualauan Anambas agar segera menyudahi kegaduhan yang terjadi terhadap hal ini,”tutupnya.
Sumber: Tri Wahyu, SH
Editor: Kadeni