Pada awal dekade abad kedua puluh satu, hampir semua orang telah sampai pada gagasan bahwa sains adalah cara berwibawa untuk berbicara tentang lingkungan. Lebih dari hampir semua masalah kebijakan publik lainnya, lingkungan dibingkai dan ditafsirkan melalui wacana pengetahuan ilmiah dan bukti ilmiah (Yearley, 2005: 113–43).
Terlepas dari dasar sains dalam bukti faktual dan upaya para ilmuwan terhadap objektivitas, suara publik yang berpengaruh berhasil mempertahankan ketidaksepakatan tentang apa yang diketahui ilmuwan dan apa arti bukti ilmiah tentang lingkungan alam.
Pernyataan-pernyataan diatas apabila ditelusuri dengan masalah perikanan tangkap di sekitar laut Natuna dan Anambas yang dihadapi nelayan Kepulauan Anambas sangat menarik untuk dikaji sebagai salah satu contoh titik-titik pertemuan utama sains dan lingkungan pada awal abad kedua puluh satu.
Sumber daya ikan di perairan Indonesia merupakan salah satu modal menuju kemakmuran bagi bangsa, apabila dikelola secara berkelanjutan. Laut Cina Selatan menempati urutan penting dalam produksi perikanan dunia yaitu sebesar lebih dari 12%, dan merupakan daerah dengan tingkat biodiversity yang tinggi (Talaue-McManus, 2000).
Bagian selatan Laut Cina Selatan merupakan kawasan Paparan Sunda dengan kedalaman perairan relatif dangkal dan merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang potensial di kawasan barat Indonesia (Widodo et al., 1998).
Salah satu perairan yang memiliki potensi hasil sumberdaya laut cukup besar adalah Laut Natuna dengan luas lautan mencapai 99,24 persen dari total luas wilayahnya dimana sumberdaya ikan laut Natuna berdasarkan studi identifikasi potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Provinsi Kepulauan Riau tahun 2011 adalah sebesar 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711 sebesar 1.059.000 ton per tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (80 persen dari potensi lestari) mencapai 403.370 ton.
Secara sains dan berdasarkan hasil dari suatu penelitian, jumlah alat penangkapan ikan yang menjadi titik acuan untuk kelestarian sumber daya ikan di WPP 711 (Laut China selatan, Laut Natuna, dan Selat Karimata) dengan upaya optimal yaitu : 3.673 unit purse seine untuk ikan pelagis kecil; 37.533 unit gillnet untuk ikan pelagis besar; 16.260 unit dogol untuk ikan demersal; 11.956 unit pancing rawai untuk ikan karang; 8.063 unit dogol untuk udang Penaeid; 15.519 unit bubu untuk lobster; 15.850 unit bubu untuk kepiting; 30.720 unit bubu untuk rajungan dan 3.832 unit bagan perahu untuk cumi-cumi (Suman, 2016).
Pengurangan upaya yang harus dilakukan adalah 2.353 unit purse seine bagi pengusahaan ikan pelagis kecil, 3.853 unit dogol untuk udang Penaeid, 2.003 unit bubu untuk lobster, 5.697 unit bubu untuk kepiting dan 3.872 unit bagan perahu untuk cumi-cumi.
Sementara penambahan upaya bisa dilakukan untuk pengusahaan ikan pelagis besar sebanyak 21.915 unit gillnet, 266 unit dogol untuk ikan demersal, 1.407 unit pancing rawai untuk ikan karang dan 11.286 unit bubu untuk rajungan (Nr, 2016).
Wilayah perairan Natuna-Anambas yang termasuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 711) memiliki potensi sumberdaya perikanan tangkap yang tinggi dan juga merupakan perairan yang berbatasan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan China sehingga perairan ini merupakan salah satu titik rawan aktivitas illegal fishing.
Menurut Dahuri (2012), secara garis besar faktor penyebab aktifitas illegal fishing tersebut dapat dikategorikan menjadi 7 (tujuh) faktor yaitu (1) Kebutuhan ikan dunia (demand) meningkat, disisi lain pasokan ikan dunia menurun, terjadi overdemand terutama jenis ikan dari laut seperti Tuna.
Hal ini mendorong armada perikanan dunia berburu ikan di manapun dengan cara; (1) legal atau illegal; (2) Disparitas (perbedaan) harga ikan segar utuh (whole fish) di negara lain dibandingkan di Indonesia cukup tinggi sehingga membuat masih adanya surplus pendapatan; (3) Fishing ground di negara-negara lain sudah mulai habis, sementara di Indonesia masih menjanjikan, padahal mereka harus mempertahankan pasokan ikan untuk konsumsi mereka dan harus mempertahankan produksi pengolahan di negara tersebut tetap bertahan; (4) Laut Indonesia sangat luas dan terbuka, di sisi lain kemampuan pengawasan khususnya armada pengawasan nasional (kapal pengawas) masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan untuk mengawasai daerah rawan. Luasnya wilayah laut yang menjadi yurisdiksi Indonesia dan kenyataan masih sangat terbukanya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas (High Seas) telah menjadi magnet penarik masuknya kapal-kapal ikan asing maupun lokal untuk melakukan illegal fishing; (5) Sistem pengelolaan perikanan dalam bentuk sistem perizinan saat ini bersifat terbuka (open acces), pembatasannya hanya terbatas pada alat tangkap (input restriction). Hal ini kurang cocok jika dihadapkan pada kondisi faktual geografi Indonesia, khususnya ZEE Indonesia yang berbatasan dengan laut lepas; (6) Masih terbatasnya sarana dan prasarana pengawasan serta SDM pengawasan khususnya dari sisi kuantitas yang belum sebanding dengan cakupan luas wilayah laut yang harus diawasi; (7) Persepsi dan langkah kerjasama aparat penegak hukum masih dalam penanganan perkara tindak pidana perikanan masih belum solid, terutama dalam hal pemahaman tindakan hukum, dan komitmen operasi kapal pengawas di ZEE.
Kegiatan Illegal Fishing di WPP-RI telah mengakibatkan kerugian yang besar bagi Indonesia, salah satunya kerugian materil yang diakibatkan oleh Illegal fishing perlu ditetapkan angka asumsi dasar antara lain: diperkirakan jumlah kapal asing dan eks asing yang melakukan IUU fishing sekitar 1000 kapal, ikan yang dicuri dari kegiatan IUU fishing dan dibuang (discarded) sebesar 25% dari stok (estimasi FAO, 2001).
Dengan asumsi tersebut, jika MSY (maximum sustainable yield = tangkapan lestari maksimum) ikan = 6,4 juta ton/tahun, maka yang hilang dicuri dan dibuang sekitar 1,6 juta ton/tahun. Jika harga jual ikan di luar negeri rata-rata 2 USD/Kg, maka kerugian per tahun bisa mencapai Rp 30 triliun.
Kegiatan illegal fishing juga dapat menyebabkan: (1) penurunan tangkapan yang berakhir pada kelangkaan ikan; (2) menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan, dan; (3) hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi nelayan yang beroperasi secara legal. Pembiaran terhadap praktik illegal fishing berujung terhadap terancamnya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan (Solihin et al., 2012).
Turunnya stok sumber daya ikan dan hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi nelayan secara legal telah menimbulkan masalah baru dimana para nelayan tidak selalu mempunyai relasi sosial yang harmonis, baik dengan sesama nelayan maupun pihak-pihak lain yang bukan nelayan. Selama ini nelayan Kepulauan Anambas yang hampir 98% merupakan nelayan kecil sebagian besar melakukan penangkapan ikan menggunakan pancing ulur dengan kapal (pompong) berukuran dibawah 5 GT. Daya jelajah yang terbatas dengan alat tangkap yang masih tradisionil ini selama puluhan tahun harus bersaing dengan kapal-kapal asing pelaku illegal fishing dan kapal penangkap ikan Indonesia yang lebih besar dari luar Kepulauan Anambas yang menggunakan alat penangkapan ikan seperti pukat cincin (purse seine), bubu, dan rawai.
Persaingan yang dialami puluhan tahun ini nampaknya belum selesai dalam waktu dekat dimana pada November 2020 yang lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Dalam Permen KP ini tercantum salah satu alat penangkapan ikan yang diizinkan beroperasi kembali yang bernama cantrang (pukat tarik) dengan menggunakan kapal alias alat penangkap ikan yang aktif dan mempunyai daya tangkap cukup besar.
Padahal dulu pada tahun 2017, saat Susi Pudjiastuti menjabat sebagai menteri KKP sempat melarang pemakaian Alat Penangkapan Ikan (API) seperti cantrang yang tertera dalam Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016.
Menurut Susi Pudjiastuti, selain merusak lingkungan, penggunaan cantrang juga dianggap menjadi penyebab konflik antar-nelayan yang menggunakan dan tidak menggunakan cantrang. Cantrang juga dianggap sebagai salah satu penyebab kegiatan overfishing di Utara Laut Jawa.
Mungkin KKP telah melakukan kajian tentang Cantrang ini sebelum mengeluarkan Permen KP 59/2020, namun nelayan Kepulauan Anambas tetap menolak cantrang karena diyakini bersifat destruktif dan tidak ramah lingkungan.
Hasil tangkapan cantrang tidak selektif dan akan menjaring berbagai jenis ikan dengan berbagai ukuran. Ikan-ikan yang belum matang akan ikut tertangkap dan tidak sempat berkembang biak menghasilkan keturunan baru.
Hal ini menimbulkan pengurangan stok ikan yang pada akhirnya akan mengurangi hasil tangkapan di kemudian hari. Selain itu pengoperasiannya yang rentan merusak terumbu karang dan pada akhirnya akan menimbulkan biaya operasional penangkapan ikan yang semakin tinggi akibat daerah penangkapan yang semakin jauh dikarenakan sumberdaya ikan yang terdegradasi imbas dari padatnya aktifitas penangkapan ikan.
Dari sisi sosial, secara umum terdapat dua pendapat tentang konsepsi laut yang sangat mendasar, terutama tentang permasalahan kepemilikannya (claim property). Pendapat pertama menyatakan bahwa laut adalah common property (milik bersama), sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa laut dapat dimiliki oleh suatu bangsa (state property).
Atas dasar pemikiran laut adalah milik bersama (common property) menyebabkan suatu permasalahan yang sering dikenal sebagai suatu tragedy of the common, yaitu terjadinya pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip open access, sehingga yang terjadi adalah eksploitasi sumberdaya (Hardin diacu dalam Bromley 1991).
Pengelolaan sumberdaya yang terjadi selama ini kurang atau tidak melibatkan sama sekali masyarakat setempat (local users). Rezim sentralistik mengakibatkan rendahnya pengawasan, hal ini karena terlalu sedikitnya aparat dan sangat luasnya daerah yang harus diawasi. Padahal daerah yang mempunyai hak ulayat (kearifan lokal) telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengelolaan sumberdaya laut yang sustainable dan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anggota masyarakatnya (Karakteristik et al., 2003).
Pemberian izin pengoperasian cantrang telah mendapat respon berupa demonstrasi dari nelayan Kepulauan Riau pada umumnya dan khususnya nelayan Kepulauan Anambas dimana kapal-kapal cantrang akan beroperasi di “halaman rumah” mereka.
Kedatangan kapal-kapal ini sedikit banyak akan berpengaruh pada kearifan lokal yang selama ini terdapat di Kepulauan Anambas, seperti nelayan yang memiliki tingkat teknologi yang lebih tinggi biasanya akan menghindari daerah penangkapan yang sama dengan nelayan tradisional (pancing ulur) yang bertujuan untuk pemerataan sumberdaya, masyarakat nelayan Anambas mengizinkan bagi nelayan dari daerah luar untuk menangkap ikan di daerah mereka dengan syarat mereka menghormati seluruh masyarakat sekitar dan menggunakan alat tangkap yang tidak merugikan nelayan-nelayan dari daerah setempat, adanya kesepakatan bagi para pelaku hal-hal yang merugikan nelayan lain, seperti aktivitas pencurian ikan dan alat tangkap serta perusakan alat tangkap, dan sebagian besar nelayan tidak melakukan aktifitas penangkapan ikan pada setiap hari Jum’at.
Datangnya kapal-kapal lain dalam jumlah banyak dengan alat tangkap yang lebih canggih pada akhirnya akan menjadi kompetisi menghabiskan sumberdaya perikanan tanpa mempertimbangkan terjadinya kerusakan alam akibat overfishing seperti yang telah terjadi di laut Jawa.
Semoga ada jalan tengah bagi para nelayan Kepulauan Anambas mengingat ketersediaan sumberdaya perikanan tangkap yang semakin berkurang maka kebijakan yang akan diambil sebaiknya harus mempertimbangkan sisi keilmuan (sains) dan aspek sosial lingkungan nelayan karena pasti akan menimbulkan konflik sosial di kalangan nelayan.
Apapun teori dan kepentingannya, dari hal-hal tersebut diatas dapat ditemukan bukti hubungan erat antara pengetahuan ilmiah dan strategi kelompok lingkungan dalam masyarakat yang memiliki implikasi yang jelas dimana sains dan sosial lingkungan menjadi instrumen penting dalam terciptanya suatu kebijakan, tergantung siapa yang membuat dan objek yang dituju.
Tidak menutup kemungkinan apabila suara publik yang berupa penolakan nelayan terhadap cantrang ini semakin besar maka KKP harus mengkaji lagi dengan adil dan membuat kebijakan baru yang dapat memuaskan seluruh pihak terkait.
Oleh:
Amriansyah Amir, S.Pi
Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan UMRAH