Jakarta-Belum usai dugaan kasus kekerasan seksual terhadap 3 orang anak yang dilakukan ayah kandung di Luwuk Timur di Sulawesi Selatan menampar wajah penegakan hukum dan melecehkan martabat anak serta mengabaikan kasus pengaduan masyarakat, tiba-tiba masyarakat melalui kabar viral di media sosial seminggu lalu dikagetkan dengan peristiwa serangan persetubuan yang dilakukan seorang oknum Kapolsek masih di Sulawesi Selatan terhadap seorang putri berusia 16 tahun dengan menggunakan pendekatan janji-janji dan bujuk rayu akan melepas atau membebaskan ayah dari korban yang diduga melakukan tindak pidana dengan syarat korban bersedia ditiduri.
Masih juga kita tak lupa dengan kasus kejahatan seksual yang terjadi di salah satu Polsek di Ternate, dimana seorang oknum polisi melakukan kejahatan seksual terhadap anak remaja usia 15 tahun yang meminta tumpangan dan perlindungan karena kemalaman pulang ke desanya justru mengalami serangan persetubuan.
Lagi-lagi kasus ini diketahui masyarakat setelah korban atas bantuan media menjadi perhatian publik dan viral di media sosial. Kasus ini membuat amarah Kapolda Maluku Utara.
Demikian juga dengan penolakan laporan kasus kejahatan seksual yang diderita seorang anak usia 6 tabun oleh Kapolsek Medan Kota di Medan Sumatera Utara hanya karena dianggap kurang bukti dan saksi dan menyarankan kepada ibu kornan untuk di mediasi atau damai melalui peran aparat kamtibnas dan kepada desa di tempat tinggal korban.
Penolakan ini menimbulkan kekecewaan dan kepercayaan korban kepada Polisi, yang pada akhirnya kasus ini menjadi viral melalui laporan media sosial, lagi-lagi kasus penolakan ini mencoreng wajah penegakan hukum, padahal diketahui bahwa kasus kekerasan seksual merupakan tindak pidana khusus dan “leg specialis” serta luar biasa dan tak lazim ditolak dan sesungguhnya kasus ini ditindaklanjuti secara cepat.
Tengok lagi kasus kejahatan seksual terhadap dua perempuan diantaranya seorang putri berusia 16 tahun diikuti dengan menghilangkan hak hidup korban setelah sebelumnya mengalami kekerasan seksual dan dibuang jasatnya secara terpisah yang dilakukan salah satu oknum Polisi yang bertugas di salah satu Polres Labuhan Belawan (tiga bulan-red).
Demikian juga dengan penghentian kasus kekerasan fisik yang dilaporkan seorang ibu warga Kabupaten Batubara di Sumatera utara kepada Polres Batu-bara sampai ke Polda Sumatera Utara. Kasus ini dibiarkan oleh penyidik tanpa kepastian hukum.
Kasus ini menambah panjang lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus anak di negeri ini.
Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang terjadi di berbagai tempat yang tak pernah ditangani dalam perspektif perlindungan korban.
Ada banyak penyidik Polri mengabaikan hak-hak korban hanya karena kurang bukti yang disampaikan korban, padahal diketahui bahwa kejahatan seksual selain merupakan tindak pidana tersembunyi juga adalah tindak pidana luar biasa yang patut dan tanpa kompromi untuk ditangani secara adil dan mempunyai kepastian hukum.
Peristiwa-peristiwa kejahatan seksusial tidak akan menampar wajah penegakan hukum di Indonesia seperti yang terjadi di Luwuk Timur, di Ternate di Medan dan diberbagai tempat jika penegakan berkeadilan dan korban tak takut lapor Polisi serta korban merasa lebih nyaman menggunakan media sosial sebagai bentuk laporannya kepada masyarakat.
Namum apa yang mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, kasus demi kasus. Terus terabaikan, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam siaran persnya yang disampaikan kepada sejumlah media di Kantor Jakarta, Minggu (17/10/21) kemarin.
Sambung Arist Merdeka lagi dalam keterangan persnya, ada banyak kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak di Indonesia, selain melibat orang terdekat korban, seperti ayah biologis dan kandung, ayah sambung, paman, kakek bahkan kerabat dan keluarga dekat korban sebagai pelaku.
Ironisnya dibeberapa tempat juga dilakukan oleh oknum polisi yang seyogianya melindungi anak bukan justru merusak masa depan anak.
Namun ini adalah fakta dan fenomena yang cukup memprihatin dan tidak bisa dipungkiri.
Menurut catatan dan pengaduan masyarakat dan korban yang terkonfirmasi dari 465 kasus pelanggaran hak anak yang diadukan ke Komnas Anak, sepanjang tahun 2021, dimana 52 persen didominasi dengan kasus kejahatan seksual terhadap anak ditemukan 06.52 persen dilakukan oknum polisi dan 28.08 persen korban lebih percaya melaporkan kasusnya melalui media sosial.
Karena laporan korban dibeberapa tempat sering di tolak oleh Polisi, oleh hanya karena kurang bukti.
Sesungguhnya jika laporan korban kurang lengkap dan memerlukan bukti, seyogianya penyidik ikut membantu melengkapinya bukan menolak laporan dan sesungguhnya selain membantu menemukan saksi yang melihat juga memfalisitasi visum korban.
Tidaklah berlebihan jika kondisi riel ini telah mencoreng program dan semangat Persisi sebagai visi dan misi Kapolri sebagai sahabat Anak Indonesia.
Namun dengan semangat Persisi sebagai Visi dan misi Polri, Komnas Perlindungan Anak sebagai lembaga independen dibidang perlindungan Anak masih sangat percaya bahwa penegakan hukum atas kasus-kasus pelanggaran hak anak ke depan menjadi prioritas Polri sesuai juga semangat Presiden Joko Widodo dalam Memutus Mata Rantai kekerasan seksual terhadap anak bercermin dari kasus anak korban kekerasan seksual di Luwuk Timur dan diberbagai tempat.
Itulah sebabnya
Untuk membangun komitmen terhadap penegakan hukum, Komnas Perlindungan Anak beberapa tahun ini telah membangun kerjasama dalam penegakan hukum dengan Polres yang tersebar di Indonesiia untuk kasus-kasus pelanggaran hak anak dengan memberikan dalam bentuk semangat penegakan hukum dengan memberikan penghargaan atas dedikasi, kerja keras dan kepedulian masing-masing di Satreskrimum dan Polres di Indonesia bahkan kepada Kapolda yang peduli dengan berbagai bentuk pelanggaran hak anak.
Sambung Arist, untuk keadaan ini, Komnas Perlindungan Anak mendesak Kapolri untuk memperkuat SEKAP Polri dalam penanganan Kasus pelanggaran hak Anak dan mengingat kasus kekerasan terhadap anak sudah merupakan keresahan masyarakat dan jumlahnya terus meningkat segera mendesak Kapolri untuk meningkan status Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang melekat dimasing-masing Polres menjadi Direktorat setara dengan direktorat lain yang ada di jajaran dan di struktur Polri,” desak Arist. (Art)