oleh

Guru Ngaji Rudapaksa Santrinya Terulang Lagi

Illustrasi anak korban kekerasan. (F-net)

“Rudapaksa terjadi Brebes Jawa Tengah dan Pelaku dapat diancam hukuman Seumur Hidup”

Jakarta-Belum reda pemberitaan kasus serangan persetubuan (Rudapaksa) oleh oknum guru ngaji dan guru pesantren terhadap santri-santrinya di Garut, Bandung, Cilacap, Tasikmalaya, Sidoarjo, Jombang di Depok, Jawa Barat, dan dibeberapa tempat seperti di Lampung dan di Sulawesi Barat kali ini kasus rudapaksa dengan bujuk rayu, iming-iming, janji-janji dan intimidasi terjadi di Brebes Jawa Tengah.

Atas maraknya kasus rudapaksa yang terjadi dilingkungan satuan pendidikan berlatarbelakang pondok pesantren berasrama, dan kelompok pengajian berbentuk panti telah membuat anggota masyarakat geram dan marah bahkan meminta hakim untuk menghukum pelaku dengan hukuman seumur hidup bahkan mati.

Banyak orangtua dan anggota masyarakat yang menaruh kepercayaan kepada panti dan pondok religius dengan harapan anaknya akan menjadi lebih baik dan menjadi harapan masa depan keluarga yang lebih baik namun fakta menunjukkan ada banyak anak menjadi korban kekerasan baik kekerasan fisik.

Atas maraknya kasus seksual ini telah mengundang atensi serius dari Komnas Perlindungan Anak. “Tidak ada toleransi terhadap segala bentuk kekerasan, apalagi kekerasan seksual, yang terjadi dilingkungan lembaga pendidikan”, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait selaku Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam menyikapi maraknya oknum guru pesantren dan guru ngaji di lingkungan satuan pendidikan yang berlatar belakang agama di berbagai tempat dalam keterangan persnya yang dibagikan kepada sejumlah media di kantornya di Jakarta Timur, Kamis (23/12/2021).

Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan Anak.

Kasus serangan persetubuhan yang dilakukan oleh oknum guru ngaji di Brebes ini mencuat setelah Kejari Brebes membeberkan penanganan kasus pencabulan selama tahun 2021.

Dari 15 kasus pencabulan atau serangan persetubuhan yang dibeberkan, salah satu kasus rudapaksa yang dilakukan oleh oknum guru ngaji kepada santrinya yang terjadi di kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes.

Sepanjang tahun 2021 Kejari Brebes telah menangani kasus serangan persetubuhan atau rudapaksa semuanya ada 15 kasus.

Terkait kasus rudapaksa yang terjadi di Kecamatan Banjar harjo Kejari Brebes menjelaskan pelakunya berinisial M (39) adalah seorang guru ngaji sedangkan korbannya anak di bawah umur yang merupakan santrinya.

Rudapaksa yang dilakukan tersangka di saat proses pembelajaran bahkan dilakukan hingga 7 sampai 8 kali.

Awalnya pelaku meraba alat vital korban. Tak hanya itu perbuatan bejat pelaku ini berlanjut pada persetubuhan.

Pada mulanya korban ketakutan untuk melaporkan kejadian yang dialaminya namun akhirnya korban memberanikan diri.

Dari keterangan korban ini ternyata korban tidak hanya dicabuli atau dirudapaksa.

Kronologi kejadian bermula saat korban diajak ke salah satu tempat rekreasi di kabupaten Cirebon sekitar bulan Juli 2021, lalu sesampainya di sana korban diajak ke kamar mandi. Didalam kamar mandi ganti korban lalu disetubuhi bahkan korban sempat mendapat ancaman usai disetubuhi oleh tersangka.

Aksi pelaku dilakukan di sejumlah tempat salah satu mengajar ngaji dirumahnya.

Rudapaksa itu terbongkar setelah teman ngaji korban mengintip, ternyata saat itu korban sedang disetubuhi oleh tersangka kemudian teman korban merekam dan menyebarluaskan video tersebut kepada media sosial.

Saat ini pelaku akan menjalani proses persidangan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan negeri Brebes.

Lebih jauh Arist Merdeka menjelaskan dalam keterangan persnya, atas perbuatan pelaku Tim Litigasi dan Rehabilitasi Sosial Anak Komnas Perlindungan Anak mendesak Polres Brebes agar menetapkan rudapaksa yang dilakukan guru ngaji M (39) terhadap santrinya merupakan tindak pidana luar biasa dan ‘leg specialist’ dengan demikian Komnas Perlindungan Anak meminta Polres Brebes menggunakan pasal 81 ayat (2) dan (3) dan pasar 76D Undang-undang RI Nomor: 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan UI RI No. 17 Tahun 2016 dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara bahkan dapat diberi sanksi kebiri dan pemasangan alat pemantau atau deteksi.

Dengan maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi dilingkungan Ponpes dan panti yang berlatarbelakang agama yang marak terjadi belakangan ini tidaklah berlebihan jika Komnas Perlindungan Anak mendesak Menteri Agama dan Kantor wilayah Kementerian Agama untuk melakukan evaluasi terhadap keberadaan pondok pondok pesantren Yayasan dan Panti yang memberi pelayanan pendidikan Agar dievaluasi dan diberikan sanksi jika terbukti secara sah oleh pengadilan dinyatakan bersalah maka Komnas perlindungan Anak berharap ketegasan dari Kantor Wilayah Agama di masing-masing provinsi untuk menutup bahkan mencabut izin dari penyelenggaraan pondok pesantren tersebut,” tegas Arist. (Art)