Jakarta-Setelah menjalani perjuangan panjang yang melelahkan dan penuh debat, akhirnya 12 April 2022 DPR-RI mengesahkan RUU tentang Kekerasan Seksual (RUU KS) menjadi UU RI tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Indonesia.
Didalam UUTPKS yang baru disahkan DPR ini juga secara umum mengatur mengenai “Victim Trust” yaitu dana bantuan bagi korban, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komosi Nasional Perlindungan Anak (Kommas Anak) kepada sejumlah wartawan guna menjawab pertanyaan mengenai disahkankannya RUU KS menjadi UU di Jakarta Jumat (15/4/2022) kemarin.
Arist memberikan penjelasan, jika pelaku kekerasan seksual tidak mampu membuat restitusi atau dana bantuan maka negara akan mengambil alih (take over) membayarnya atau memberikannya berupa konvensasi kepada korban kekerasan seksual .
Disamping itu Arist menuturkan dalam keterangan persnya, didalam UU TPKS ada 9 tindak pidana yang wajib dilindungi yakni setiap pelaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual.
Dalam pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindak non fisik berupa isyarat, tulisan dan/atau perkataan pada kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang terkait dengan keinginan seksual, dipidana 5 tahun paling lama dan/atau denda pidana Rp10 juta.
Lebih lanjut Arist menjelaskan bahwa UU TPKS juga melindungi Korban Revenge Porn
Pada pasal 4 ayat (1) UU TPKS disebutkan ada 9 tindak pidana kekerasan yakni :
1. Pelecehan Seksual non fisik.
2. Pelecehan seksual fisik.
3. Pemaksaan kontrasepsi.
4. Pemaksaan Sterilisasi.
5. Penyiksaan seksual.
6. Pemaksaan perkawinan
7. Eksploitasi seksual
8. Perbudakan seks
9. Kekeradan seksual berbasis elektronik.
Sementara itu untuk kekerasan berbasis elektronik didalam TPKS ini memberikan pengertian bahwa keekerasan seksual berbasis elektronik juga termasuk “revenge porn” yakni penyebaran konten pornografi dengan modus balas dendam kepada korban.
Masih dalam keterangan
Arist Merdeka didalam pasal 6 UU TPKS ini juga mengatur tentang pemaksaan hubungan seksual yang dapat dipidana atau dikarenakan tindak pidana denda.
UU TPKS ini mengatur
bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana karena pemaksaan sterilisasi dapat dipidana paling lama 9 tahun dan/atau denda Rp200 juta.
Disamping itu, dijelaskan juga bahwa setiap orang secara melawan hukum memaksa menempatkan seseorang dibawa kekuasaannya atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan
pelaku terancam pidana paling lama 9 tahun dan/atau dengan pidana denda Rp200 juta.
Lebih jauh Atist menuturkan didalam pasal 11 UU TPKS dijelaskan juga bahwa selain pidana penjara dan pidana denda, pelaku TPKS dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dan pembayaran restitusi.
Restitusi atau pembayaran ganti kerugian dibebankan kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau kerugian material atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya.
Didalam ketentuan pasal 13 TPKS juga mengatur pihak korporasi yang melakukan TPKS dapat dikenai denda sekitar Rp200 juta sampai Rp2 miliar.
Selain itu, korporasi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
A. Pembayaran restitusi pembayaran latihan kerja
B. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS.
C. Pencabutan ijin tertentu penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan atau kegiatan korporasi.
Sementara itu didalam pasal 20 , UU TPKS ini mengatur bahwa dengan keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan satu alat bukti yang sah, seseorang dapat ditetapkan menjadi terdakwa.
Alat bukti yang sah dalam pembuktian TPKS yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat , petunjuk, keterangan terdakwa, dan alat bukti lainnya berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu pada pasal 24 disebutkan korban TPKS berhak mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
Jika lelaku tak mampu membayar restitusi, maka dikenai pidana penjara pengganti paling lama satu tahun.
Ganti kerugian yang dimaksud atas kehilangan kekayaan atau penghasilan.
Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana.
Selanjutnya penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis dan/ atau ganti kerugian atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana.
Dalam pasal 27 sampai dengan pasal 29, korban atau setiap orang yang mengetahui atau menyaksikan terjadinya TPKS bisa melaporkan kepada kepolisian, UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan, baik ditempat korban berada maupun ditempat kejadian perkara.
Selanjutnya UPPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan uang dibutuhkan korban.
Selain itu, lembaga tersebut bertugas membuat laporan kepada kepolisian. Penyelesaian perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak akan bisa menggunakan tindakan restorative justice,” tutur Arist.
Arist berharap, setelah UU TPKS ini diundangkan menjadi Undang-udang yang implementatip dan segera bisa menjadi dasar hukum melindungi korban kekerasan.
Pemerintah selaku implementor atau eksekutif segera pula menyusun
Rencana Aksi Nasional untuk menyosialisasikan UU TPKS ini ditengah-tengah kehidupan masyarakat, penegak hukum dan segera pula menyusun Peraturan peraturan pelaksanaanya berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan berupa Keputusan Presiden atau peraturan lainnya yang diperintahkan UU TPKS ini.
Dengan ditandatanganinya UU TPKS in, Komnas Perlindungan Anak sebagai institusi perlindungam anak di Indonesia, menyampaikan apresiasi kepada DPR RI maupun pemerintah secara khusus kepada anggota masyarakat, juga kepada aktivis perempuam dan aktivis perlindungan anak di Indonesia serta aktivis kampus dosen dan tokoh agama dan media, termasuk kepada Presiden dan ibu negara,” tutup Arist. (Art)