oleh

Arist Merdeka Sirait: Papua Barat Zona Merah Kekerasan Terhadap Anak

Arist Merdeka Sirait bersama anak-anak Indonesia.

“Jika Kondisi ini dibiarkan dan tidak dicari solusinya, Papua Barat bisa terancam kehilangan generasi penerusnya”

Jakarta-Komnas Perlindungan Anak Selalu Ada untuk ANAK Indonesia. Menurut catatan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Provinsi Papua Barat dan Polda Papua Barat ada lebih kurang 400.000 anak berusia dibawah 18 tahun yang memerlukan perlindungan khusus. Dari jumlah itu, kondisinya cukup masih cukup memprihatinkan.

Dari hasil Diskusi Perlindungan Anak dan Permasalahannya yang diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak dan Polda Papua Barat di Mapolda Papua Barat Kamis (28/4) kemarin, ditemukan fakta dan permasalahannya untuk segera dicari solusinya.

Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak memberikan keterangan pers.

Dalam diskusi itu, ditemukan ada banyak anak di eksploitasi sebagai pekerja diberbagai tambang-tambang di Manokwari.

Ada juga fakta dilaporkan sejumlah anak terpaksa tinggal dan dieksploitasi di rumah bordir di Manokwari sebagai pekerja seksual komersial.

Ada banyak juga anak-anak dinikahkan pada usia dini, demikian juga ada banyak anak dalam stanting, kurang gizi dan terhambat pertumbuhannya.

Selama 5 hari kunjungan kerja di Kabupaten dan kota Sorong dan Manokwari 25-29 April 2022, ada banyak warga masyarakat dan para pekerja media di 2 tempat ini melaporkan sejumlah fakta derita anak dan perempuan yang penanganannya sangat lemah demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak kepada awak media ini melalui rilis tertulis, Sabtu (30/4/2022).

Menurut data situasi anak berhadapan Konflik hukum yang disampaikan Polda Papua Barat dalam acara diskusi tersebut, ada ratusan anak berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, pelaku dan korban jumlahnya terus meningkat.

Ada banyak kasus kejahatan seksual dan bentuk kekerasan lain yang tidak dilaporkan kepada kepolisian dan hanya diselesaikan melalui pendekat adat atau budaya yang dilakukan atau difasilitasi oleh kepala suku maupun tokoh adat,” tutur Arist.

Ada banyak fakta juga anak-anak tidak mempunyai akta lahir dan berdampak tidak mendapat layanan dari pemerintah dan negara akibatkan hak anak terlanggar termasuk hak anak untuk mendapat hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, makanan, dan hak identitas serta perlindungan.

Arist menambahkan, informasi lainnya disampaikan dalam acara diskusi yang dihadiri lebih dari 100 orang melalui ofline dan zoom dengan melibatkan para Kapolres,
Satreskrim, ASN dan kanit PPA, media dan aktivis anak dan perempuan di Sorong dan Manokwari Papua Barat. Ada banyak anak di eksploitasi dalam konflik bersenjata dan antar kampung, dan dikorbankan sebagai pelaku kekerasan.

Fakta menunjukkan bahwa setiap kali ada konflik ditengah-tengah masyarakat dan tindak pidana, fakta menunjukkan bahwa anak selalu dilibatkan. Ada banyak juga laporan bahwa anak selalu dimanfaatkan oleh kepentingan politik orang dewasa.

Yang menjadi kesulitan untuk memutus mata rantai pelanggaran hak anak secara khusus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan penyelesaiannya melalui jalan damai dan adat yang difasilitasi tokoh adat bahkan institusi agama akibatnya ada banyak kasus diselesaikan tidak berpihak pada korban. Inah yang menyebabkan penegakan hukum sangat lemah.

Kalau situasi dan kondisi ini dibiarkan dan anak-anak Papua khususnya di Papua Barat terus dilanggar haknya, ditanamkan kekerasan dan terus di eksploitasi serta tidak dicari solusinya, tidaklah berlebihan jika masa depan anak Papua Barat di kuatirkan kehilangan masa depan dan generasi orang-orang Papua,” kata Arist.

Lalu apa solusi untuk menyikapi fakta ini, dalam diskusi Perlindungan Anak dan permasalahannya perlu dicari format dan formulasi yakni yang pertama perlu dengan segera melakukan perempuan dengan para kepala suku dan tokoh adat serta pimpinan sinodal gereja, pejabat pemerintah pengambil keputusan, pegiat perlindungan anak dan perempuan aparat penegak hukum yang dikordinir Kapolda, Kajari dan Pengadilan untuk menyamakan visi dan missi yang sama dalam penanganan kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual.

Kedua perlu dibangun gerakan perlindungan Anak berbasis keluarga dan kampung dan memanfaatkan Kampung Tangguh yang telah dibangun pemerintah dan Polda Papua Barat dengan melibatkan Babinkamtibnas, Karang Taruna dan aktivis gereja dan peduli anak.

Kemudian, pemerintah daerah mesti menyediakan anggaran Perlindungan Anak dan perempuan yang cukup dengan program dan kegiatan berbasis desa dan kampung khususnya penguatan organisasi di pedesaan.

Terakhir, untuk memutus mata rantai pelanggaran hak anak perlu segera dibentuk Forum anak di setiap desa dan kampung sebagai Pelopor dan pelapor,” tambah Arist. (Art)