Jakarta-Munculnya isu senyawa Ethylene Glicol pada obat sirop banyak yang mencoba mengaitkan pada kemasan lain. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait yang selama ini fokus memperjuangkan pelabelan pada galon guna ulang mendapat banyak pertanyaan.
Pada kesempatan ini, Arist secara tegas menyampaikan bahwa langkah BPOM sudah tepat untuk menarik peredaran pada obat sirop yang mengandung Ethylene Glicol dan akan mempidanakan dua industri yang mengedarkan produk dengan cemaran etilen glikol (EG) melebihi ambang batas. Pasalnya, cemaran bahan ini diduga menjadi pemicu ratusan kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak – anak Indonesia.
Arist Merdeka Sirait, tak ingin isu Ethylene Glicol ini justru mengaburkan perjuangan utama pelabelan galon guna ulang yang mengandung BPA.
“Langkah BPOM sudah tepat dengan memberi label pada galon guna ulang yang mengandung BPA, sudah banyak jurnal dan penelitian bahaya BPA bagi anak-anak, sehingga sudah banyak pula negara negara maju melarangnya. Dengan pengesahan Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan, BPOM telah melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi kesehatan anak-anak sejak dini” tutur Arist Merdeka Sirait kepada awak media, Jumat (11/11/2022).
“Sebenarnya Ethylene Glicol senyawa polimer ini terdapat pada obat sirop sebagai bahan pelarut, hanya saja ada suatu hal yang salah dan tidak sesuai dengan standar keamanan obat yang telah ditetapkan oleh BPOM,” papar Arist.
Adapun ada pihak yang mencoba mengaitkan dengan kemasan AMDK botol dan galon berbahan PET terlalu dipaksakan.
Lebih jauh Arist menjelaskan bahwa kemasan yang terbuat dari polikarbonat sudah jelas dilarang di negara negara maju dan menjadi point of concern WHO untuk tidak lagi menggunakan polikarbonat akan tetapi diganti dengan PET. PET justru jadi jalan keluar kemasan yang lebih aman dan direkomendasikan untuk digunakan, ” tandas Arist.
Sementara menurut Prof Chalid, Pakar Polymer dan Metalurgi FT UI menyampaikan secara gamblang bahwa jika dalam obat sirop Etilen Glikol dicampurkan dalam bentuk cair dan ikut diminum, berbeda dengan penggunaan EG sebagai senyawa pengikat dalam plastik PET yang sulit untuk luruh.
Pada obat, kandungan EG dianggap berbahaya karena digunakan untuk melarutkan bahan-bahan obat dan masuk ke tubuh karena ikut diminum.
Sedangkan untuk PET senyawa ini sekedar dipakai sebagai aditif untuk mengikat polimer, dan hanya bermigrasi jika kondisi ekstrem, yakni terpapar panas yang mencapai 200 derajat Celsius.
Arist berharap masyarakat jangan terkecoh dengan pengalihan isu Ethylene Glicol. Perjuangan utama adalah bahwa Bisphenol A sangat berbahaya jangan sampai diabaikan. BPOM sudah melakukan revisi tinggal menunggu pengesahannya.
“Kita harus tetap fokus ke perjuangan utama pelabelan galon guna ulang yang mengandung BPA, ” tegas Arist.
Secara terpisah, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKB, Arzeti Bilbina juga mengaku mendapat banyak pertanyaan seputar Ethylene Glicol. Menurut Arzeti, yang perlu diperhatikan adalah ambang batasnya, dan ini sudah diatur secara khusus oleh BPOM mengenai keamanan pada kemasan pangan.
“Masyarakat tidak perlu panik dan khawatir mengaitkan Ethylene Glicol yang ada di obat sirop dengan Ethylene Glicol pada kemasan pangan, ” papar Arzeti Bilbina. (Art)