Jakarta-Ketidakpedulian Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara terhadap meningkatnya jumlah kasus kejahatan seksual terhadap anak di daerahnya mengundang geram Ketua Umum KOMNAS Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.
Bupati Deli Serdang bungkam dan tak peduli bahkan terkesan membiarkan korban-korban tidak berdaya secara hukum dan sosial.
Anak-anak korban dan keluarganya dibiarkan menanggung beban sendiri. Bahkan para korban seringkali dipersalahkan bahkan diusir dari desanya karena dianggap membawa sial dan aib namun pemerintahan Deli Serdang dan kecamatan membiarkan begitu saja.
Tengok saja kasus Geng Rapen yang terjadi di Kecamatan Lubukpakam yang dilakukan 7 orang terhadap seorang siswi SMP Usia 13 hingga korban melahirkan apa yang dibuat pemerintah?
Fakta korban dibiarkan menanggung beban sendiri dengan bayinya ketika korban ditemui dirumah aman yang disiap pegiat perlindungan Anak.
Ironinya korban dan keluarganya atas sepengetahuan kepala dusun demi nama baik dusunnya diusir untuk meninggalkan desanya dan bahkan meminta korban untuk memilih salah satu dari delapan (8) predator untuk dinikahkan.
“Inikan sadis dan keji”, “masak korban justru diusir dari kampungnya”, keluh Arist.
Atas peristiwa demikian, seringkali Pemerintah daerah lepas dan cuci tangan atas maraknya kasus-kasus kejahatan seksual.
Seakan-akan Pemerintah Deli Serdang tak mempunyai konsep tentang mekanisme untuk melindungi anak.
Nampaknya Deli Serdang sebagai Kota Layak Anak hanya jargon dan prestis politik memalukan saja,” ujarnya.
Cluster-cluster hak anak anak yang harus dipenuhi sebagai prasyarat Kota disebut anak belum dijalankan dengan semestinya. Ruang terbuka hijau ramah anak (RPTRA) misalnya belum ditemukan di Kota Deli Serdang. Tempat bermain anak masih berorientasi bisnis saja.
Sementara kasus-kasus kejahatan terhadap anak khususnya kejahatan seksual di Deli Serdang masih terus dibiarkan terus meningkat.
Tengok saja, seorang anak usia 13 tahun di Lubukpakam dipaksa oleh ayah dan abang kandungnya untuk melayani nafsu bejatnya secara berulang. Fakta pemerintah tidak hadir dalam masalah ini.
Demikian juga seorang anak dirudapaksa oleh ayah kandungnya di Pantailabu, semenjak korban usia 8 tahun dan saat ini berusia 16 tahun juga tidak mendapat perhatian dan dibiarkan menanggung beban psikologisnya.
Kasus kejahatan seksual lainnya terjadi di Kecamatan Batangkuis, 8 orang anak sekolah minggu dilecehkan oleh salah seorang pendeta dalam bentuk sodomi.
Aksi untuk menjaga dan melindungi anak dengan melibatkan peran masyarakat hanya omong dimulut saja. Untuk itu perlu dipertimbangkan status Kabupaten Deli Serdang sebagai kota layak itu dicabut saja. “Tidak ada gunanya itu memalukan saja, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Komnas Perlindungan Anak kepada sejumlah awak media di Delisendang selepas konferensi pers beberapa waktu lalu di Mapolres Deliserdang, Sumatera Utara.
Kasus-kasus kejahatan terus saja terjadi dan membiarkan Kepolisian kerja sendiiri, demikian juga peran tokoh agama dan alim ulama terasa semakin melemah, ketahanan keluarga sudah semakin melemah, serta peran wakil rakyat yang sesungguhnya mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk melindungi rakyat atau konstituan yang memilihnya.
Dengan demikian tidaklah berlebihan jika KOMNAS Perlindungan Anak menyimpulkan bahwa Kabupaten Deli Serdang hari ini “ZONA MERAH” terhadap Kejahatan Seksual karena pemimpinnya tidak peduli dan tidak mempunyai kapasitas melindungi anak.
Lebih jauh Arist Merdeka menjelaskan bahwa untuk memastikan bahwa Deliserdang merupakan “Zona merah” kejahatan seksual terhadap anak yang memerlukan aksi bersama ini data menunjukkan sepanjang tahun 2019-2020 Jumlah kasus Kejahatan seksual terhadap anak di Deli Serdang mencapai 389 kasus, 62,56 % di dominasi kasus kekerasan seksual atau setara dengan 196 kasus kejahatan Seksual. Angka ini angka terbesar kedua setelah kota Medan.
Bentuk dan jumlah kekerasan seksual di Deli Serdang yang dilaporkan, kejahatan seksual dalam bentuk sodomi 47 kasus dengan jumlah korban lebih dari 250, kejahatan seksual dalam bentuk cabul 21 kasus, hubungan seksual sedarah (incest) 38 kasus, Persetubuhan dengan kekerasan 84 kasus.
Sementara itu, kejahatan seksual yang dilaporkan pada umumnya pelakunya adalah ayah kandung dan atau ayah sambung, kakak, paman, guru, tetangga, teman sebaya dan keluarga terdekat anak.
Sedangkan lokus terjadinya kejahatan seksual adalah rumah, lingkungan sekolah, asrama dan tempat penitipan anak atau boarding school.
Tempat kejadian atau wilayah peristiwa yang sudah terkonfirmasi di Deli Serdang terjadi Kecamatan Lubukpakam 20 kasus, Batangkuis 15 kasus, Kecamatan Galang 15 kasus, Naurambe 10 kasus, Kecamatan Kutaimbaru 11 kasus, sementara di Kecamatan Pantai Ceri 20 kasus, Pantai Labu 15 kasus Seituan 15 dan Pancurbatu 9 kasus.
Angka atau jumlah kekerasan Seksual yan dihimpun KOMNAS Perlindungan dan LPA Deli Serdang berbeda jumlahnya dibanding dengan angka yang terlaporkan di Polres Deli Serdang.
Perbedaan angka ini dipengaruhi ada banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak dilaporkan karena dianggap aib dan sebagian kasus diselesaikan melalui pendekatan adat dan damai.
Dampak yang ditimbulkan dari kejahatan seksual itu adalah rusaknya alat-alat reproduksi korban, menimbulkan penyakit menular seksual, hamil dan melahirkan, kehilangan masa depan dan bahkan bunuh diri.
Yang lebih menyedikan lagi, dari 196 kasus kejahatan seksual terhadap terhadap anak yang dilaporkan, 5 diantaranya meninggal dunia, 2 anak di Namurambe, 2 anak di Batangkuis dan satu disalah satu desa di Galang serta 1 orang anak bunuh diri karena menanggung malu di Kecamatan Sibiru-biru.
Lalu apa yang harus dilakukan masyarakat untuk memutus mata rantai kejahatan terhadap anak di Deli Serdang ini, sudah tiba saatnya membangun gerakan perlindungan anak berbasis keluarga, kampung dan desa. Masyarakat harus dilibatkan secara langsung serta memanfaatkan alat-alat kelengkapan organisasi masyarakat di Desa dan atau kelurahan.
Sudah tiba pula saatnya memfungsikan Musala di masing-masing desa, kampung dan desa sebagai alat komunikasi dan mekanisme menyampaikan pesa-pesan moral dan keagamaan melalui pengeras suara yang ada di masjid guna mengumumkan dan memberitahukan kepada masyarakat.
Demikian juga memanfaatkan rapat-rapat karang Taruna, dan rapat desa yang berbasis dengan program pemberdayaan desa.
Atas keadaan ini dan dengan rasa hormat, kecintaan dan kepedulian akan masa Deliserdang, KOMNAS Perlindungan Anak mengingat agar Bupati dan Jajaran utama pemerintahan Deliserdang peduli dengan anak.
Jangan biarkan masa depan anak-anak Deliserdang hancur. Karena Setiap anak mempunyai hak politik dan berhak mendapat perlindungan dari negara dan pemerintah,” desak Arist.
“Pak Bupati jangan biarkan anak-anak luka hatinya dan menderita”, mari hargailah dan berikanlah reward kepada para pegiat perlindungan anak di Deliserdang,” mari kita bangun komitmen “si Sada Anak, si Sada boru” artinya anakmu adalah anakku juga, pinta Aris
mengakhiri keterangan persnya. (Art)
Komentar