“Bebaskan anak dari segala bentuk eksploitasi, kekerasan penelantara, penganiayaan dan diskriminasi”
Jakarta-Seratus Enam Puluh (160) tahun kehadiran Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dalam ditengah kehidupan sebagian anggota masyarakat di Indonesia yang dibawa misionaris DR. lodiwijk Nommensen.
Semula misioner muda warga Jerman dimasanya mendekati masyarakat Batak dengan menggunakan pendekatan membebaskan masyarakat Batak dari berbagai penyakit dan dari kebodohahan dan buta huruf melalui pendekatan program pendidikan.
Namun HKBP yang dijuluki sebagai HKBP Naboloni dan dimasa kini dijuluki sebagai HKBP pembawa berkat unuk bangsa di dunia.
Namun pertanyaannya saat ini, apa yang sudah dilakukan HKBP dimasa digital ini? khususnya untuk anak-anak yang sedang menghadapi Pandemi Covid 19 serta menghadapi ratusan ribu anak-anak yang menjadi yatim piatu karena dampak dari serangan corona.
Dalam situasi yang menyedikan ini sudahkah gereja sebagai pembawa berkat sudah bertindak menyuarakan suara kenabiannya untuk bangsa ini dan telah membebaskan belenggu kekerasan, eksplotasi, penelantaran, penganiayaan dan diskriminasi terhadap anak, demikian disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak dalam diskusi terbatas/ Webinar menyambut 160 tahun HKBP, Kamis (7/10/2021) di Jakarta.
Bersamaan dengan perayaan 160 HKBP serta banyaknya pelanggaran hak anak yang tidak bisa lagi diterima oleh akal sehat manusia di Indonesia terlebih di Tano Batak. HKBP Naboloni dan sebagai pembawa berkat bagi bangsa dituntut menyuarakan suara kenabiannya untuk membebaskan segala anak -anak dari segala bentuk praktek eksploitasi, penelantaran, kekerasan maupun diskriminasi terhadap anak.
“HKBP tak boleh berdiam diri, harus bergerak dan bergerak untuk menyelamatkan dan memerdekakan anak Indonesia dari segala bentuk belenggu eksplotasi dan kekerasan seksual maupun pelanggaran hak dalam bentuk lain,” tegas Arist.
Pelayanan diakonia harus dinamis diantara suku dan agama di Indonesia.
Di era serba digital HKBP dituntut terbuka dengan suku dan agama lainnya di Indonesia. dan demi kepentingan terbaik anak (the best interest of the child) HKBP harus terbuka dalam segala aksi pelayanannya” jelas Arist.
Mengingat empat Kabupaten dan satu kota madya terkonfirmasi penyimpan berbagai bentuk pelanggaran hak anak khususnya kejahatan seksual yang tidak bisa ditoleransi lagi oleh akal sehat manusia dan telah menjadikan daerah ini menjadi zona merah kekerasan seksual terhadap anak, disinilah peran gereja, ulama tokoh masyarakat dan adat, media dan kalangan pendidik serta wakil rakyat dituntut untuk membangun gerakan memutus mata rantai kekerasan dan gerakan perlindungan anak berbasis keluarga dan komunitas dimasing-masing daerah.
Dengan dasar itulah maka tidaklah berlebihan jika HKBP Naboloni dituntut perannya sebagai garda terdepan untuk membangun gerakan perlindungan Anak berbasis keluarga dan komunitas itu.
Kemudian Pemerintah juga dituntut untuk menggerakkan sumber dana perlindungan anak yang di terintegrasi dengan dana desa yang dikaitkan dengan program pemberdayaan masyarakat rentan yakni anak, perempuan dan lansia,” tandas Arist dalam kertas kerjanya. (Art)
Komentar