oleh

SMSI Menyurati Presiden Joko Widodo Agar Penetapan Dewan Pers Ditangguhkan

Zakmi Ketua SMSI Provinsi Kepulauan Riau.

JakartaSerikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat akhirnya memutuskan untuk menyurati presiden RI Joko Widodo untuk meminta penangguhan Penetapan Anggota Dewan Pers Periode 2022-2025.

Pasalnya, penetapan yang dilakukan Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) jauh dari keadilan dan tidak proporsional.

Selain tidak mengakomodir suara dari semua konstituen dewan pers dikhawatirkan kebijakan yang akan dikeluarkan oleh anggota Dewan Pers yang baru bakal merugikan ribuan perusahaan media di tanah air.

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kepulauan Riau (Kepri), Zakmi menyebutkan SMSI Kepri sangat mendukung langkah yang dilakukan SMSI pusat untuk kepentingan mayoritas perusahaan media Indonesia yang berpeluang dicurangi dan dirugikan dalam setiap kebijakan yang akan muncul.

Sebelumnya, sebut Zakmi SMSI pusat sudah melayangkan surat ke Dewan Pers bernomor 01/SMSI-Pusat/I/2022 Tentang Permohonan Penangguhan Penetapan Anggota Dewan Pers. Namun, tidak juga digubris.

“Sudah dua surat yang diajukan SMSI pusat ke Dewan Pers, namun tidak adanya respon sama sekali dari Dewan Pers,” kata Zakmi sambil menyebutkan para Ketua SMSI Cabang selalu dikirim tembusan setiap surat yang dilayangkan SMSI Pusat ke Dewan Pers dan presiden RI, Jumat (4/1/2022).

Menurut Zakmi, saat ini organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers yang sudah menjadi konstituen Dewan Pers ada 10 organisasi. Namun, hanya 6 organisasi yang memiliki keterwakilan sebagai anggota Dewan Pers. Mestinya, utusan organisasi perusahaan pers dan organisasi profesi pers ada 10 orang.

“Saat ini anggota Dewan Pers ada 6 dari organisasi profesi wartawan dan organisasi perusahaan pers ditambah tiga dari utusan masyarakat jadi totalnya 9 orang. Mestinya statute Dewan Pers diubah agar anggota Dewan Pers jumlahnya bisa ditambah dan setiap organisasi konstituen memiliki keterwakilan di Dewan Pers,” kata Zakmi.

Kata Zakmi, salah satu organisasi yang sangat berpeluang dirugikan adalah SMSI. Padahal, SMSI merupakan organisasi perusahaan media terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota saat ini mencapai 1.726 perusahaan dan anggotanya tersebar di 34 provinsi di Indonesia.

“Organisasi perusahaan yang anggotanya hanya delapan perusahaan dan ada yang anggotanya hanya belasan malah memiliki keterwakilan di Dewan Pers. Apa yang membuat Dewan Pers keberatan mengubah statuta agar jumlah anggotanya ditambah secara proprsional? Ini yang mencurigakan dan perlu diwaspadai,” ujar Zakmi.

Menurut Zakmi, keberadaan anggota Dewan Pers yang baru dipilih tidak mencerminkan keterwakilan dari tiap-tiap organisasi konstituen. Hal itu berdampak pada hilangnya kesetaraan, kesamaan hak dan keadilan bagi SMSI. Bahkan, anggota Dewan Pers yang baru ini merupakan hasil proses diskriminasi yang dibangun secara sistematis dalam bentuk peraturan Dewan Pers.

Zakmi menambahkan, sangat wajar jika muncul banyak dugaan kecurangan yang dibuat Dewan Pers. Terutama dalam menetapkan peraturan standar organisasi perusahaan pers yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers.

“Kita melihat salah satu yang diskriminatif adalah tentang batas minimal jumlah anggota organisasi perusahaan pers menggunakan standar ganda yang diskriminatif. Sejak awal, peraturan tersebut telah memberi ruang seluas-luasnya untuk terjadi monopoli kebijakan oleh media kelompok tertentu,” terangnya.

Zakmi mencontohkan, peraturan yang diskriminatif seperti ada organisasi tertentu yang diberlakukan khusus untuk menjadi konstituen Dewan Pers yang diberi hak istimewa (privilese) dengan hanya cukup 8 anggota saja.

“Ada organisasi yang anggotanya hanya delapan perusahaan dan tidak memiliki perwakilan dan kepengurusan di berbagai provinsi malah dinyatakan memenuhi standar organsiasi Perusahaan Pers. Dan kemudian, dengan syarat dan hak istimewa tersebut mereka dapat membentuk organisasi lebih dari satu organisasi dan masing-masing memiliki utusan di Dewan Pers saat ini,” beber Zakmi.

Sementara, untuk organisasi lain yang ingin mendaftar agar menjadi konstituen dewan pers wajib memenuhi syarat mesti memiliki ratusan perusahaan sebagai anggota dan mesti memiliki kepengurusan minimal ada di 15 Provinsi.

Keganjilan dan upaya menguasai Dewan pers oleh kelompok tertentu sudah terlihat dari Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers yang ditunjuk melakukan seleksi tokoh.

Pada statuta Dewan Pers disebut, setiap organisasi yang telah memenuhi standar (konstituen) Dewan Pers mendapat seorang perwakilan di Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers.

“Sehingga organisasi tertentu yang mendapat prepilese atau hak istimewa tersebut dapat mengusulkan utusannya ke BPPA Dewan Pers lebih dari satu dan kemudian dapat menempatkan anggotanya juga lebih dari satu. Ini sudah menjadi catatan BPPA selaku panitia seleksi versi Dewan Pers namun tetap saja diloloskan. Dan, dalam Peraturan Dewan Pers tentang statuta Dewan Pers, BPPA dapat memilih dan menetapkan anggota Dewan Pers berjumlah hanya 9 orang. Sehingga anggota BPPA yang terdiri dari utusan organisasi konstituen Dewan Pers hasil peraturan yang diskriminatif tersebut, dapat leluasa menetapkan Anggota Dewan Pers yang dikehendaki, terangnya.

Sehingga, ada beberapa organisasi yang sudah menjadi konstituen Dewan Pers tidak memiliki utusan atau perwakilan di Dewan Pers.

“SMSI yang anggotanya 1.716 perusahaan saja tidak ada satu orang wakilpun yang duduk menjadi anggota Dewan Pers. Demikian juga beberapa organisasi lain yang dicurangi. Inilah bentuk dari hasil peraturan yang diskriminastif dan secara material dan immaterial merugikan pengurus, anggota dan organisasi SMSI. Dan ini tentu bertentangan dengan semangat UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers,” terang Zakmi.

Menurut Zakmi, wajar jika muncul pendapat bahwa anggota Dewan Pers periode 2022-2025 yang dihasilkan dari peraturan yang diskriminatif tidak akan memenuhi rasa keadilan.

“Prosesnya saja berpotensi terjadi pelanggaran hak azazi dan pembatasan hak masyarakat pers dalam berserikat yang bermuara pada terbelenggunya kemerdekaan pers. Ini berlawanan dengan semangat reformasi dan UUD serta UU No.40 tahun 1999 Tentang Pers. Karena proses curang inilah maka perlu ada peninjauan Peraturan Dewan Pers tentang standar organisasi yang berstandar ganda (Diskriminatif), agar sesuai dengan semangat reformasi, sehingga dapat memenuhi keterwakilan para konstituen,” kata Zakmi.

Kata Zakmi, pengurus dan anggota SMSI baik di Cabang Kepri maupun di daerah lain berkeyakinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akan mengabulkan permohonan SMSI untuk menangguhkan Keppres Anggota Dewan Pers periode 2022 – 2025.

“Presiden tentu ingin Pers Indonesia tetap berada di koridor perundang-undangan. Apalagi ada berbagai dinamika yang berkembang di seputar Dewan Pers dan masyarakat pers. Harapan kita Presiden menunda menerbitkan Keputusan Presiden (Keprres) dan memperpanjang masa kerja Dewan Pers lama sampai pembentukan anggota Dewan Pers periode baru yang mekanismenya mesti diulang dari awal yang transparan dan yang berkeadilan,” tutup Direktur Pemberitaan dan pengembangan daerah siberindo.co ini.

Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal SMSI Pusat Yono Hartono menyebutkan surat permohonan penanguhan Keppres Dewan Pers untuk Presiden RI sudah dikirimkan.

“Suratnya tertanggal 3 Febuari 2022 dengan nomor 47/SMSI-Pusat/II/2022. Surat itu juga ditembuskan kepada Ketua Dewan Pers, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Kominfo, Ketua DPR-RI, Ketua Komisi I DPR-RI, para organisasi Konstituen Dewan Pers, Para Tokoh Pers Indonesia serta Dewan Penasehat, Dewan Pembina, Dewan Pertimbangan, Dewan Pakar SMSI Pusat,” terang Kandidat Doktor ini. (SMSI)

Komentar

News Feed